Roh pada manusia memerankan fungsi istimewa – melampaui fungsi raga, akal dan jiwa
Islamisasi ilmu adalah proyek keilmuan ambisius yang mulai menggeliat sejak 1970-an. Kritik atas perkembangan ilmu pengetahuan Barat yang bercorak sekularistik karena mengabaikan nilai-nilai spiritual dan etika menjadi ikon gerakan intelektual tersebut. Ilmu pengetahuan yang melulu berorientasi pada spirit keduniawian hanya akan mengantarkan umat manusia terjebak dalam situasi dehumanisasi terus-menerus.
Gelombang Islamisasi ilmu melanda hampir semua bidang. Ada nama Akbar S. Ahmed dalam sosiologi dan antropolgi. Osman Bakkar, S.H. Nasser, dan Ziauddin Sardar untuk sejarah dan sains. Dan dalam kajian psikologi ada Malik B. Badri, Utsman Najati, dan Hasan Langgulung. Tulisan hanya membahas Islamisasi dalam psikologi yang kemudian melahirkan psikologi Islam sebagai mazhab psikologi baru.
Psikologi Islam memberi catatan kritis atas kelemahan empat mazhab psikologi Barat: behaviorisme, psikoanalisis, psikologi humanistik, bahkan psikologi transpersonal. Seperti disponsori Ivan Parov, John Watson, dan B.F. Skinner, kelemahan terletak pada konsep stimulus-respons.
Behaviorisme memandang, ketika manusia dilahirkan pada dasamya tidak membawa bakat apa-apa. Lingungan jadi penentu utama perkembangan manusia. Pandangan semacam ini terlalu menekankan aspek stimulasi lingkungan dan mengabaikan faktor bakat dan potensi alami manusia.
Aliran ini mempunyai kenderungan mereduksi manusia dengan menganggapnya tidak mempunyai jiwa, tak memiliki kemauan dan kebebasan menentukan tingkah lakunya sendiri (Malik B. Badri, The Dilemma of Muslim Psycologist, 1986).
Terkait dengan psikoanalisis sebagai mazhab kedua, psikologi Islam mencatat, mazhab Sigmund Freud ini terletak pada pandangan deterministik terhadap perilaku manusia yang semata-mata ditentukan faktor masa
lalunya. Konsep ini dianggap terlalu pesimistis, seakan tidak terdapat ruang bagi upaya pengembangan potensi manusia. Setelah orang mengalami masa kecil suram, seakan-akan tidak terbuka lagi kesempatan hidup normal.
Cacat lain psikoanalisis di mata psikologi Islam adalah soal hasrat Libido (Id) sebagai satu-satunya penggerak perilaku manusla. Teori ini dipandang terlampau menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada daIam diri manusia.
Dalam kacamata psikologi humanistik, teori Freud ini hanya menjelaskan adanya kebutuhan paling mendasar pada diri manusia, yaitu kebutuhan fisiologis. Namun, tak mampu memberi penjelasan pada kebutuhan-kebutuhan manusia yang lebih tinggi. Teori Freud akan kesulitan memberikan penjelasan kebutuhan aktualisasi diri dan dorongan beragama.
Pada awalnya, psikologi Islam menaruh simpati pada psikologi humanistik yang berupaya mengembalikan kebebasan manusia sebagai sesuatu yang kodrati setelah dicampakkan behaviorisme dan psikoanalisis. Secara sepintas, psikologi humanistik mempunyai pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik dan memiliki potensi tidak terbatas.
Pandangan ini tidak menekankan dan mendewakan pendekatan kuantitatif, mencoba tidak terpenjara oleh dualisme subyek-obyek dan mengakui keunikan manusia. Ketika dipahami lebih lanjut, ada kejanggalan-kejanggalan teoritik yang patut dicermati. Pandangan psikologi humanistik masih mewakili semangat antroposentrisme Barat yang terlampau optimistis terhadap potensi manusia. Manusia dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan peran Tuhan di dunia.
Kemudian psikologi traspersonal. Mazhab psikologi ini sebenamya telah meletakkan spiritualitas sebagai tema sentral dalam kajian teoretiknya. Psikologi ini memusatkan perhatian pada kemampuan batin manusia terdalam yang bersifat trans (melampaui) diri pribadi manusia biasa. Artinya, kemampuan terdalam dari psikis manusia, misalnya, kemampuan yoga, telepati, dan alih batin. Menurut psikologi Islam, kekurangsempurnaan dari mazhab ini hanya menyentuh aspek spiritualitas dari manusia, belum menyentuh dimensi al-ruh dan al-fitrah pada diri manusia.
Pada dasamya sifat asal manusia adalah baik dan selalu ingin kembali kepada Kebenaran Sejati (Allah) (QS.7:172). Namun, ketika potensi luhur itu tidak dikelola dengan baik, manusia terjerembap dalam kegelapan yang destruktif.
Jadi segala bentuk perilaku menyimpang sebenarnya akibat dari tidak berfungsi secara maksimalnya potensi luhur manusia tersebut. Sifat asli manusia yang pada dasarnya baik dan dalam psikologi Islam disebut sebagai fitrah.
Dorongan merealisasi fitrahnya dan kesiapan alamiah untuk mengenal Allah tertakdirkan sejak zaman azali dan mendapatkan pendasarannya dalam dimensi khas yang dimiliki manusia, yaitu roh. Meskipun psikologi humanistik dan transpersonal sedikit telah menyinggung spiritualitas, tidak berkonotasi pada posisi roh sebagai dimensi sentral manusia. Roh pada manusia – memerankan fungsi istimewa – melampaui fungsi raga, akal dan jiwa, dalam melakukan dialog dengan Allah sang pencipta.
Data dan temuan psikologi mengenai fenomena roh sangat minim, demikian pula telaah teoretis mengenai masalah itu sulit ditemukan. Karena itu, referensi tepercaya untuk mendapatkan keterangan mengenai dimensi roh manusia, tak lain adalah Al-Quran dan hadits, di samping pandangan para ulama, terutama para ahli sufi. Secara hierarkis, roh merupakan dimensi tertinggi pada diri manusia dengan jiwa, akal, dan raga, secara berturut-turut berada di bawahnya.
Berkaitan dengan fungsi spiritual, para ahli sering memposisikan roh setara dengan jiwa-padahal keduanya beda. Jiwa merupakan manifestasi roh dalam kehidupan manusia di dunia.
Dengan berfungsinya jiwa, manusia diharapkan selalu mengingat Tuhan dalam setiap perbuatannya. Jadi tidak salah ketika psikologi Islam sering disebut sebagai mazhab psikologi yang bervisi ketuhanan.
Roh menjadi pusat orientasi dari berfungsinya jiwa, akal, raga, atau perilaku dalam psikologi Islam. Maksudnya, setiap upaya dalam melatih kepekaan jiwa, ketajaman akal, dan kesalehan perilaku senantiasa ditujukan pada upaya mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Roh menjadi media penghubung antara Sang Pencipta dan makhluknya.
Sebagai kilas balik dalam wacana psikologi, pembahasan tentang jiwa dan struktur-strukturnya sebenarnya telah dibahas oleh psikoanalisis. Fungsi akal telah dibahas psikologi kognitif dan psikologi humanistik. Untuk fungsi ragawi secara panjang lebar telah dibahas psikologi faal dan behaviorisme.
Psikologi Islam hadir pada saat yang tepat, dengan menyempurnakan teori tentang manusia dengan memasukkan dimensi roh sebagai puncak tertinggi dari semua dimensi manusia. Dengan usaha penyempurnaan semacam itu, tidak dapat dibenarkan ketika psikologi Islam dituduh hendak memisahkan diri dan mainstream psikologi yang sudah berkembang sejak lama.
Justru kehadirannya sebenarnya hendak menyelamatkan diskursus psikologi yang akhir-akhir ini telah mengalami krisis kepercayaan karena kelemahan deskripsi teoretiknya tentang manusia. Secara sederhana psikologi Islam adalah rangkuman dari behaviorisme, psikoanalisis, psikologi humanistik, psikologi transpersonal, dan disempurnakan dengan sufisme.
Adapun catatan-catatan kritis atas teori-teori psikologi Barat oleh psikologi Islam harus dimaknai sebagai kerja konstruktif, bukan destruktif. Psikologi Islam mengambil manfaat darinya, bukan mencampakkanya
Sumber : Harian Tempo
Gelombang Islamisasi ilmu melanda hampir semua bidang. Ada nama Akbar S. Ahmed dalam sosiologi dan antropolgi. Osman Bakkar, S.H. Nasser, dan Ziauddin Sardar untuk sejarah dan sains. Dan dalam kajian psikologi ada Malik B. Badri, Utsman Najati, dan Hasan Langgulung. Tulisan hanya membahas Islamisasi dalam psikologi yang kemudian melahirkan psikologi Islam sebagai mazhab psikologi baru.
Psikologi Islam memberi catatan kritis atas kelemahan empat mazhab psikologi Barat: behaviorisme, psikoanalisis, psikologi humanistik, bahkan psikologi transpersonal. Seperti disponsori Ivan Parov, John Watson, dan B.F. Skinner, kelemahan terletak pada konsep stimulus-respons.
Behaviorisme memandang, ketika manusia dilahirkan pada dasamya tidak membawa bakat apa-apa. Lingungan jadi penentu utama perkembangan manusia. Pandangan semacam ini terlalu menekankan aspek stimulasi lingkungan dan mengabaikan faktor bakat dan potensi alami manusia.
Aliran ini mempunyai kenderungan mereduksi manusia dengan menganggapnya tidak mempunyai jiwa, tak memiliki kemauan dan kebebasan menentukan tingkah lakunya sendiri (Malik B. Badri, The Dilemma of Muslim Psycologist, 1986).
Terkait dengan psikoanalisis sebagai mazhab kedua, psikologi Islam mencatat, mazhab Sigmund Freud ini terletak pada pandangan deterministik terhadap perilaku manusia yang semata-mata ditentukan faktor masa
lalunya. Konsep ini dianggap terlalu pesimistis, seakan tidak terdapat ruang bagi upaya pengembangan potensi manusia. Setelah orang mengalami masa kecil suram, seakan-akan tidak terbuka lagi kesempatan hidup normal.
Cacat lain psikoanalisis di mata psikologi Islam adalah soal hasrat Libido (Id) sebagai satu-satunya penggerak perilaku manusla. Teori ini dipandang terlampau menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada daIam diri manusia.
Dalam kacamata psikologi humanistik, teori Freud ini hanya menjelaskan adanya kebutuhan paling mendasar pada diri manusia, yaitu kebutuhan fisiologis. Namun, tak mampu memberi penjelasan pada kebutuhan-kebutuhan manusia yang lebih tinggi. Teori Freud akan kesulitan memberikan penjelasan kebutuhan aktualisasi diri dan dorongan beragama.
Pada awalnya, psikologi Islam menaruh simpati pada psikologi humanistik yang berupaya mengembalikan kebebasan manusia sebagai sesuatu yang kodrati setelah dicampakkan behaviorisme dan psikoanalisis. Secara sepintas, psikologi humanistik mempunyai pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik dan memiliki potensi tidak terbatas.
Pandangan ini tidak menekankan dan mendewakan pendekatan kuantitatif, mencoba tidak terpenjara oleh dualisme subyek-obyek dan mengakui keunikan manusia. Ketika dipahami lebih lanjut, ada kejanggalan-kejanggalan teoritik yang patut dicermati. Pandangan psikologi humanistik masih mewakili semangat antroposentrisme Barat yang terlampau optimistis terhadap potensi manusia. Manusia dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan peran Tuhan di dunia.
Kemudian psikologi traspersonal. Mazhab psikologi ini sebenamya telah meletakkan spiritualitas sebagai tema sentral dalam kajian teoretiknya. Psikologi ini memusatkan perhatian pada kemampuan batin manusia terdalam yang bersifat trans (melampaui) diri pribadi manusia biasa. Artinya, kemampuan terdalam dari psikis manusia, misalnya, kemampuan yoga, telepati, dan alih batin. Menurut psikologi Islam, kekurangsempurnaan dari mazhab ini hanya menyentuh aspek spiritualitas dari manusia, belum menyentuh dimensi al-ruh dan al-fitrah pada diri manusia.
Pada dasamya sifat asal manusia adalah baik dan selalu ingin kembali kepada Kebenaran Sejati (Allah) (QS.7:172). Namun, ketika potensi luhur itu tidak dikelola dengan baik, manusia terjerembap dalam kegelapan yang destruktif.
Jadi segala bentuk perilaku menyimpang sebenarnya akibat dari tidak berfungsi secara maksimalnya potensi luhur manusia tersebut. Sifat asli manusia yang pada dasarnya baik dan dalam psikologi Islam disebut sebagai fitrah.
Dorongan merealisasi fitrahnya dan kesiapan alamiah untuk mengenal Allah tertakdirkan sejak zaman azali dan mendapatkan pendasarannya dalam dimensi khas yang dimiliki manusia, yaitu roh. Meskipun psikologi humanistik dan transpersonal sedikit telah menyinggung spiritualitas, tidak berkonotasi pada posisi roh sebagai dimensi sentral manusia. Roh pada manusia – memerankan fungsi istimewa – melampaui fungsi raga, akal dan jiwa, dalam melakukan dialog dengan Allah sang pencipta.
Data dan temuan psikologi mengenai fenomena roh sangat minim, demikian pula telaah teoretis mengenai masalah itu sulit ditemukan. Karena itu, referensi tepercaya untuk mendapatkan keterangan mengenai dimensi roh manusia, tak lain adalah Al-Quran dan hadits, di samping pandangan para ulama, terutama para ahli sufi. Secara hierarkis, roh merupakan dimensi tertinggi pada diri manusia dengan jiwa, akal, dan raga, secara berturut-turut berada di bawahnya.
Berkaitan dengan fungsi spiritual, para ahli sering memposisikan roh setara dengan jiwa-padahal keduanya beda. Jiwa merupakan manifestasi roh dalam kehidupan manusia di dunia.
Dengan berfungsinya jiwa, manusia diharapkan selalu mengingat Tuhan dalam setiap perbuatannya. Jadi tidak salah ketika psikologi Islam sering disebut sebagai mazhab psikologi yang bervisi ketuhanan.
Roh menjadi pusat orientasi dari berfungsinya jiwa, akal, raga, atau perilaku dalam psikologi Islam. Maksudnya, setiap upaya dalam melatih kepekaan jiwa, ketajaman akal, dan kesalehan perilaku senantiasa ditujukan pada upaya mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Roh menjadi media penghubung antara Sang Pencipta dan makhluknya.
Sebagai kilas balik dalam wacana psikologi, pembahasan tentang jiwa dan struktur-strukturnya sebenarnya telah dibahas oleh psikoanalisis. Fungsi akal telah dibahas psikologi kognitif dan psikologi humanistik. Untuk fungsi ragawi secara panjang lebar telah dibahas psikologi faal dan behaviorisme.
Psikologi Islam hadir pada saat yang tepat, dengan menyempurnakan teori tentang manusia dengan memasukkan dimensi roh sebagai puncak tertinggi dari semua dimensi manusia. Dengan usaha penyempurnaan semacam itu, tidak dapat dibenarkan ketika psikologi Islam dituduh hendak memisahkan diri dan mainstream psikologi yang sudah berkembang sejak lama.
Justru kehadirannya sebenarnya hendak menyelamatkan diskursus psikologi yang akhir-akhir ini telah mengalami krisis kepercayaan karena kelemahan deskripsi teoretiknya tentang manusia. Secara sederhana psikologi Islam adalah rangkuman dari behaviorisme, psikoanalisis, psikologi humanistik, psikologi transpersonal, dan disempurnakan dengan sufisme.
Adapun catatan-catatan kritis atas teori-teori psikologi Barat oleh psikologi Islam harus dimaknai sebagai kerja konstruktif, bukan destruktif. Psikologi Islam mengambil manfaat darinya, bukan mencampakkanya
Sumber : Harian Tempo
Comments
Post a Comment